Gerakan Literasi AGSI Banten; Menyibak Tabir-tabir Sejarah Tak Sebatas di Ruang Kelas

Date:

Rombongan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Banten berfoto di salah satu objek bersejarah di Palembang. (Dok.AGSI Banten)

Serang – Guru-guru sejarah di Banten sadar betul, pertemuan tatap muka di ruang kelas dengan murid-muridnya sangat terbatas. Sementara, tanggungjawab mentransformasikan narasi-narasi sejarah terus bergelayutan di pundak para anak zaman. 

Mereka yang tergabung Asosiasi Guru Sejarah Indonesia atau AGSI Banten ini kemudian menempuh jalan lain agar seluruh tanggungjawab sebagai pendidik bisa tertunaikan.

Seperti pada Senin, 29 Juni 2020. AGSI Banten menggelar webinar bertajuk: ‘Tinjauan Kritis Revolusi 1926 di Banten; Pemberontakan PKI atau Perang Sabil?’. 

Diskusi menghadirkan dua sejarawan kenamaan asal Banten, yakni Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Historia.id dan Mufti Ali, pengajar di UIN SMH Banten. Presiden AGSI, Sumardiansyah Perdana Kusuma membuka langsung jalannya diskusi ini.

Saat pelaksanaan webinar berlangsung menggunakan aplikasi Zoom, panitia mencatat, ada lebih dari 500 peserta mengikuti webinar. Para peserta tak hanya para praktisi, melainkan dari kalangan masyarakat umum.

Ketua AGSI Banten, Abdul Somad mengatakan, lembaganya menaruh perhatian terhadap sejarah lokal Banten. Salah satunya terhadap peristiwa sejarah Revolusi 1926.

Saat ini, literatur sejarah atau historiografi mengenai peristiwa Revolusi 1926 di Banten lebih banyak dalam perspektif bahwa peristiwa tersebut adalah pemberontakan PKI. 

“Sementara di masyarakat atau penelitian mutakhir menyatakan bahwa ia adalah perlawanan para ulama-santri terhadap pemerintah kolonial Belanda. Justru kami ingin mengetahui objektivitas sejarah tentang ini,” ungkap Abdul Somad kepada BantenHits.com melalui pesan WhatsApp ketika ditanya soal pemilihan tema diskusi, Senin malam, 29 Juni 2020.

Menurut Somad yang juga guru di SMAN 1 Ciruas, Kabupaten Serang, pengetahuan sejarah Banten secara umum seperti masa pra-aksara, masa kesultanan hingga masa kemerdekaan sudah jamak diketahui atau dilakukan penelitian oleh sebagian guru.

Khusus untuk peristiwa lokal, seperti Revolusi 1926 di Banten, berdasarkan survei AGSI, pengetahuan seputar itu belum banyak tertransformasikan. 

“Sebelumnya AGSI Banten mengadakan survei bagaimana implementasi sejarah lokal di sekolah. Tetapi secara mikro atau secara khusus mengenai Peristiwa 1926 saya kira belum banyak ditransfer. Apalagi sumber sejarah terdahulu masih belum utuh menjelaskan soal peristiwa 1926 di Menes-Labuan ini,” jelasnya. 

“Yang saya katakan tadi literasinya lebih condong ke “kiri”. Nah kami ingin guru sejarah dapat melihat perspektif atau interpretasi lain bahwa ia adalah gerakan para ulama, santri, para petani dan pedagang yang berjuang demi agama atau jihad fi sabilillah. Jadi guru sejarah kaya akan analisis sehingga bisa lebih objektif mentransfer pengetahuan kepada peserta didik sehingga kekhawatiran terhadap resistensi bisa direduksi,” sambungnya. 

Somad berharap, diangkatnya peristiwa Revolusi 1926 di Banten sebagai tema diskusi, guru-guru sejarah di Banten tidak saja melihat dalam perspektif komunis sebagai inisiator dalam peristiwa tersebut, tetapi justru para ulama di bawah kharisma dan bimbingan Kiai Asnawi Caringin mampu menggerakan rakyat untuk menentang kezaliman kolonial. 

Selain diskusi soal Revolusi 1926 di Banten, lanjutnya, beberapa waktu lalu AGSI Banten juga membedah buku Arya Wangsakara Tangerang yang ditulis Mufti Ali di dua tempat yaitu di Serang dan Tangerang yang melibatkan sekira 250 orang guru sejarah.

“Kami juga sudah membuat media pembelajaran sejarah lokal dalam bentuk animasi termasuk menyusun buku ringan sejarah Banten untuk bacaan para pelajar. Agenda kami ke depan bagaimana guru sejarah bisa lebih profesional, terutama tantangan di tengah pandemi ini,” ujarnya. 

Selain itu, Somad juga ingin guru sejarah di Banten lebih paham sejarah lokal di daerahnya masing-masing dan pemerintah daerah dapat mendukung hal ini sehingga masyarakat bisa lebih paham sejarah.

Foto Kiai Asnawi Caringin (tengah) dalam pemberitaan koran Belanda. Kiai Asnawi adalah tokoh sentral dalam pemberontakan 1926 di Banten. (Dok.Bonnie Triyana)

Revolusi Banten 1926

Peristiwa Revolusi 1926 di Banten merupakan kali pertama kaum komunis menampakkan dirinya dalam bentuk gerakan politik di Indonesia. Meskipun berlangsung singkat, pemberontakan ini menunjukkan fakta bawa agitasi komunis pada awal Abad ke-20 memperoleh dukungan rakyat. Yang unik pada revolusi 1926 di Banten, kaum komunis bekerjasama dengan ulama serta pendukungnya untuk melawan Belanda.

Ulama tampil sebagai tokoh sentral dalam pemberontakan ini. Para ulama Banten dengan semangat jihad fi sabilillah menjadi motor penggerak pemberontakan yang ditujukan bukan hanya kepada pemerintah kolonial, tetapi juga kepada penguasa pribumi yang dianggap sebagai kaki tangan penjajah.

Sementara, bagi PKI, kekecewaan para ulama kepada pemerintah kolonial dapat dijadikan sebagai alat perjuagan partai. Para agen propaganda membujuk mereka, bahwa Islam tidak akan pernah dapat bebas di bawah pemerintah Hindia Belanda. Jika Islam berada dalam naungan komunisme agama akan dibebaskan.

Pemberontakan yang dimulai 12 November 1926 di Labuan ini memunculkan sejumlah tokoh ulama sentral seperti Ki Asnawi dan anak menantunya KH.Tubagus Ahmad Khatib, Kiai Mukri, dan, Tubagus Alipan, dan Ce Mamat.

Musuh Bersama

Presiden AGSI, Sumardiansyah Perdana Kusuma mengungkapkan, banyak orang yang memahami bahwa PKI adalah pemberontak karena dia hanya melihat teks secara letter lux dalam konteks peristiwa seputar 1948 dan peristiwa 1965. Ketika peristiwa ditarik mundur ke tahun 1925-26, justru ditemukan fakta sejarah PKI dan umat Islam bersatu melawan kolonialisme Belanda.

“Kita lupa ketika mundur jauh sebelum itu (1948 dan 1965, ketika pada periode 1920-an (yakni) 1925, 1926, ketika PKI (atau) orang-orang kiri bersama umat Islam mencoba membangun satu kekuatan bersama melawan the common enemy, satu musuh bersama yang kita sebut kolonial Belanda,” katanya.

“Nah, teks akan kehilangan maknanya ketika dia lepas dari konteksnya. Nah inilah yang ingin kita bangun selain guru sejarah harus memahami sejarah sebagai suatu teks juga sejarah sebagai suatu konteks. Pada fase apa kita berbicara itu, dalam konteks yang bagaimana dengan menggunakan rujukan yang seperti apa?” sambungnya.

Menurut Sumardiansyah, jika mau mundur ke masa 1926, kemesraan PKI dengan umat Islam saat sama-sama melawan kolonialisme Belanda tidak hanya terjadi di Banten, melainkan juga terjadi di Silungkang, Sumatera Barat.

“(Kondisi) itu menurut saya hal menarik. Kenapa menarik? Sebab memang faktanya orang-orang kiri punya kontribusi dalam pembentukan ke-Indonesian. Tapi lagi-lagi, hati-hati kita menjelaskan konteksnya. Karena konteks 1920 itu sangat berbeda dengan konteks 48 dan 65. Ini jangan diputus. Karena kalau diputus akan terjadi missing link,” jelasnya.

“Karena itu berbicara tentang orang-orang kiri maka kita perlu bangun dari proses awal ketika Sneevliet (Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet) masuk ke Indonesia ketika tahun 1913 sampai 1918 dan kemudian terjadi satu bentuk akultaurasi dengan kultur Indonesia. Bagimana terjadi perangkulan dengan umat-umat Islam untuk menghadapi musuh bersama yang disebut kolonial,” lanjutnya.

Kondisi Politik yang Cair

Soal adanya kepentingan bersama PKI dengan ulama di Banten pada 1925/26, diamini sejarawan Bonnie Triyana. Meski secara ontologis Islam dan komunis sangat berbeda, namun kepentingan bersama untuk melawan kolonialisme Belanda membuat mereka dipersatukan.

“Kenapa Islam dan PKI bisa bersatu. Sebetulnya secara ontologis, islam dan komunis itu dua hal yang berbeda. Kalau komunis itu kan tujuannya menciptakan masyarakat sosialis tanpa kelas dengan revolusi. Kalau islam secara ontologis menciptakan kebahagiaan masyarakat di dunia dan akhirat. Kenapa bisa bergabung? Kalau merujuk kepada (pendapat) Dawam Raharjo, karena ketemu di tengah jalan (oleh kepentingan yang sama),” terangnya.

Meski demikian, Bonnie menilai berkumpulnya Islam dan komunisme di Banten tidak sesederhana hanya karena ada kepentingan bersama, melainkan ada konteks historisnya.

Secara garis besar dalam paparannya Bonnie menyebut, pemberontakan 1926 di Banten adalah akumulasi dari ketidakpuasaan warga Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda, ada benturan westernisasi dan semangat keagamaan.

“Kalau kita baca Ahmad Djayadiningrat, memoarnya menyebutkan banyak kiai Banten yang marah pada kaum feodal. Jadi keresahan sosial sudah terbina sejak lama, ketidakpuasan, protes, sudah terbina sejak lama di Banten,” ungkapnya.

Selain itu, kondisi politik saat itu menurut Bonnie sangat cair. Sehingga tokoh-tokoh sentral dalam pemberontakan 1926 di Banten seperti Ahmad Khatib bisa menjadi anggota Sarekat Islam sekaligus ISDP (Indische Sociaal Democratische Partij) atau Partai Sosialis Demokrasi Hindia. ISDP inilah cikal bakal lahirnya PKI.  

“Jadi dulu orang punya duoble keanggotaan atau triple itu biasa. Dan harus diingat Sneelviet yang orang ISDP yang orang Komunis itu pun ikut rapat sarekat Islam pada kongres nasional pada 1916,” jelasnya.

Komunisme sendiri bisa masuk ke Banten melalui sosok bernama Jan cornelis Stam yang memiliki nama samaran Harun. Dia seorang guru di Rangkasbitung.

“Yang menarik ulama-ulama di Banten, beberapa bisa masuk PKI. (Alasannya) sebetulnya satu, mereka ada satu partai satu wadah yang menjadi tempat buat mereka menunjukkan sikap antipati terhadap pemerintah kolonial,” ungkapnya.

“Di Banten sendiri ada satu pesantren di Petir di Serang, kiai dan santri-santrinya satu kampung jadi anggota PKI semua. karena jargon-jargon yang disuarakan (PKI) saat itu jelas soal kerakyatan (sehingga) membuat orang di Banten tertarik masuk PKI. Bahkan kemudian Ahmad Khatib juga kemudian bergabung sekaligus menjadi ketua Sarekat Islam. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam konteks melawan kolonialisme. Yang aneh ketika kita dipengaruhi cara pandang setelah 65,” lanjutnya.

Foto Haji Misbach, seorang muslim taat yang menjadi tokoh PKI hingga dijuluki ‘Haji Merah’. (Foto: Buku Kemunculan Komunisme Indonesia/ Ruth T McVey)

Kiai Punya Agenda Sendiri

Sementara itu, akademisi sekaligus peniti, Mufti Ali mengungkapkan, PKI di Banten saat itu tidak memiliki kekuatan karena tidak memiliki banyak anggota. Supaya bisa membangun kekuatan di Banten, mereka kemudian masuk melalui kharisma kiai. Cara itu terbukti berhasil karena anggota PKI di Banten langsung membludak. Hal yang sama juga dilakukan Sarekat Islam.

“Penahanan Kiai Asnawi menjadi jawaban. Sesungguhnya yang membuat pemberontakan sukses bukan Purwadisastra, bukan Alipan, bukan Ahmad Basaib. Tapi di belakangnya ada Syekh Asnawi Caringin. Dan Syekh Asnawi Caringin ini saya yakin dialog intensifnya bukan dengan Alipan, bukan dengan Ahmad Basaib, tapi dengan anak dan mantunya,” ungkapnya.

Mufti Ali meyakini, bergabungnya beberapa ulama di Banten bersama PKI bukan karena teryakinkan dengan agenda-agenda PKI. Sama halnya ketika Sarekat Islam juga meyakinkan dengan ide-ide mereka. Para ulama dalam pemberontakan tersebut justru punya agenda sendiri.

“Orang bertanya-tanya, kenapa Ahmad khatib mau all out mendukung gerakan, (karena) dia punya agenda sendiri. Agenda alim ulama ingin bagaimana harapan dia dan jaringan untuk supaya Islam lebih diakomodir oleh pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial bersikap adil dan seterusnya,” jelasnya.

Meski demikian, Mufti Ali tak menampik adanya agenda komunisme untuk beraliansi dengan kekuatan Islam di Banten. Hal tersebut dapat diketahui dari diutusnya, Ahmad Basaib, salah seorang tokoh PKI keturunan Arab yang beribukan seorang warga Banten.

“Memang ada agenda untuk beraliansi dengan kekuatan Islam. Itu dilakukan oleh pengurus PKI dengan mengutus salah seorang tokoh PKI keturunan Arab beribukan Banten, Ahmad Basaib. Dialah yang terus menerus meyakinkan Ahmad khatib dan adiknya Ki Adung, meyakinkan adik iparnya Ki Emed untuk mau bergabung denegan gerakan mereka. Nah Ahmad Basaib ini memang dapat perintah resmi untuk mendekati tokoh-tokoh ini,” ungkapnya.

Editor: Darussalam Jagad Syahdana

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related