Balaraja, Benteng Pertahanan Kemerdekaan Indonesia

Date:

Balaraja adalah salah satu kecamatan di wilayah administratif Kabupaten Tangerang. Terletak di bagian barat Tangerang, Balaraja berbatasan langsung dengan Kecamatan Cikupa, Kecamatan Jayanti, Kecamatan Pasar Kemis, dan Kecamatan Sukamulya.

Pada masa perang kemerdekaan, Balaraja ternyata memiliki peranan penting. Saat agresi pemerintahan sipil Belanda atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA) bersama sekutunya–yang tak mau mengakui kemerdekaan Indonesia–melancarkan agresi, Balaraja merupakan benteng pertahanan kemerdekaan Indonesia.

Dalam rubrik Babad Banten kali ini, redaksi Banten Hits akan menyajikan sejarah Balaraja pada masa perang kemerdekaan. Seluruh tulisan ini bersumber pada buku Sejarah Kabupaten Tangerang yang ditulis oleh Tim Pusat Studi Sunda. Beberapa penambahan untuk memperkaya bahan tulisan, diambil juga bahan dari Kamus Sejarah Indonesia yang disusun Robert Cribb dan Audrey Kahin.

Pada 16 Juni 1946, Perdana Menteri Indonesia Sutan Syahrir melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta, secara khusus mengucapkan pidato untuk rakyat Tangerang, terutama yang tinggal di Balaraja.

Isi pidato Sutan Syahrir tersebut adalah perintah supaya rakyat Kabupaten Tangerang di Balaraja supaya terus berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan NICA dan sekutunya.

Serdadu-serdadu NICA tersebut memasuki wilayah Tangerang pada saat Kabupaten Tangerang tengah mengonsolidasikan pemerintahannya pada tanggal 17 Mei 1946. Mereka masuk ke Tangerang setelah terlebih dahulu menduduki Serpong.

NICA dan sekutunya kemudian mengumumkan ancaman, jika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tidak mengosongkan wilayah Tangerang, sesuai dengan keputusan Sekutu tanggal 17 Maret 1946, maka serdadu NICA akan menumpasnya.

Ancaman NICA tersebut tak dihiraukan oleh TKR. Bersama laskar-laskar rakyat dan rakyat Tangerang, TKR memilih bertahan di daerahnya.

Saat itu, untuk kepentingan pemerintahan, kantor pamong praja dan institusi sipil lainnya diungsikan ke Balaraja yang menjadi ibu kota Kabupaten Tangerang. Sementara, kantor polisi dipindahkan di Jatiuwung.

Namun kemudian, karena laskar-laskar rakyat kekurangan bahan makanan dan persenjataan, TKR beserta rakyat yang disiagakan di garis pertahanan terpaksa harus mengungsi ke Balaraja. Pada tanggal 28 Mei 1946, serdadu NICA dengan leluasa memasuki Kota Tangerang.

Setelah 2 Juni 1946, Indonesia melakukan serangan balasan terhadap Kota Tangerang yang saat itu diduduki NICA. Dampaknya, mulailah operasi-operasi serdadu Belanda ke jurusan Banten. Tanggal 3 Juni 1946 sore, barisan rakyat yang dipimpin oleh Kyai Semaun dan Rasudin dapat memukul mundur pasukan NICA sampai ke tapal batas Kota Tangerang. 

Sebelum mereka mundur, NICA membakar tak kurang 500 rumah di Karawaci dan sekitarnya.  Periode tanggal 5 Juni 1946, banyak rumah-rumah di Kampung Pabuaran menjadi lautan api dibakar oleh NICA. Setelah merampok kerbau, kambing, ayam, serta perabotan rumah, pasukan NICA itu kembali ke Tangerang.

Saat itu, 9 Juni 1946 pagi hari jam 08.30 WIB, serdadu NICA melakukan pengepungan dan kemudian menyerang rakyat dari tiga jurusan: dari Sangiang, Jalan Cimone, dan dari Jalan Karawaci. Namun, barisan rakyat, barisan Sabilillah, dan tentara dapat memukul mereka hingga ke Tangerang.

Sore harinya sekitar pukul 15. 40 WIB, serdadu NICA melakukan serangan kedua. Mereka mengerahkan peralatan perang modern seperti mobil baja dan meriam howitzer. Pada kesempatan ini barisan rakyat berhasil merampas 15 mortir, menahan lima orang pemegang meriam pasukan Belanda dan beberapa orang NICA-Cina.

Keberhasilan Indonesia mematahkan serang NICA itu tak bertahan lama. Pada 16 Juni 1946, serdadu NICA menyerang Balaraja setelah berhasil menduduki Jatiuwung. Saat itulah pidato Sutan Syahrir digelorakan khusus untuk rakyat Kabupaten Tangerang di Balaraja.

Namun, lagi-lagi rakyat dan TKR terpaksa harus mundur hingga ke Cikande  yang berbatasan langsung dengan Balaraja. Bahkan saat itu, rakyat harus diungsikan ke wilayah Banten.

Pertempuran di Balaraja ini baru mereda pada 23 Juni 1946, setelah para pemimpin Republik Indonesia menyatakan bekerjasama dan membantu tugas Sekutu yang bertujuan untuk mengurus para tawanan perang dan merehabilitasi para bekas tawanan perang….

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Mengungkap Sebab Kantor Dagang VOC Pertama di Indonesia Didirikan di Banten

Berita Banten - Kapal-kapal dagang Belanda untuk pertama kalinya...

Hujan Mulai Basahi Bumi Banten, Pemprov Bersiap Percepat Musim Tanam Padi

Berita Banten - Pemerintah Provinsi atau Pemprov Banten bersiap...

Menyibak Masa 1696 di Jakarta; Warganya Telah Melek Aksara dan Banten Jadi Penyuplai Buku-buku Agama

Berita Banten - Ahkmat bin Hasba, seorang ulama menyampaikan...

Banteng Banten dalam Kisah Perempuan yang Ambisius Duduki Tahta Kerajaan

Berita Banten - Kronik sejarah Banten tak melulu mengisahkan...