Watu Gilang; Simbol Kekuasaan Raja dan Kehancurannya

Date:

Watu Gigilang atau Watu Gilang adalah sebuah batu andesit berbentuk persegi panjang, yang dulu dijadikan tempat pengambilan sumpah para sultan atau penobatan raja-raja Banten. Batu ini masih bisa ditemui di Komplek Surosowan Banten, lokasinya berada di sebelah timur laut meriam Ki Amuk. 

Ada dua versi tentang asal muasal Watu Gilang. Pertama, dalam Babad Banten seperti dikutip Claude Guillot dalam Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII yang dijadikan oleh kami sebagai sumber tulisan ini. Disebutkan Guillot, saat Maulana Hasanudin berhasil menaklukkan Banten Girang pada 1526, Sunan Gunung Jati memerintahkan Hasanudin mendirikan kota baru di tepi laut. 

{loadposition google2}Di tempat yang ditunjukkan Sunan Gunung Jati ini, ada seorang sedang bertapa di atas batu berbentuk persegi panjang yang dikemudian hari batu ini disebut Watu Gilang. Si pertapa adalah seorang resi bernama Betara Guru Jampang. Disebutkan, sang resi bertapa dengan khusuk dan dalam tempo yang lama, sampai-sampai tutup kepalanya dijadikan sarang burung.

Setelah kemenangan Maulana Hasanudin dalam perang melawan non-Islam, Betara Guru Jampang kemudian masuk Islam lalu menghilang. Sunan Gunung Jati memeringatkan anaknya untuk tidak memindahkan Watu Gilang dengan alasan apapun, karena jika pesan itu tidak dihiraukan maka kerajaan akan mengalami kehancuran. Begitulah, Watu Gilang itu kemudian menjadi takhta Maulana Hasanudin dan penerusnya.{loadposition google1}

Versi kedua di laman wikipedia.org menyebutkan, saat Kerajaan Pajajaran hancur akibat serangan Kesultanan Banten di pengujung 1526, kerajaan Sunda ini resmi berakhir, terlebih saat itu batu tempat penobatan calon raja Sunda telah dirampas dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan Banten oleh Maulana Yusuf, anak Maulana Hasanudin.

Batu bernama Palangka Sriman Sriwacana atau Watu Gilang ini diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru. Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. 

Menilik dari waktu penaklukan Banten Girang dan Kerajaan Pajajaran yang sama-sama terjadi tahun 1526, bisa jadi dua cerita tentang Watu Gilang ini merupakan satu rangkaian. Mengingat Banten Girang yang dulu di bawah penguasaan Kerajaan Pajajaran berhasil dikuasai Kesultanan Banten setelah Ki Jongjo, salah satu petingginya masuk Islam dan bergabung dengan Maulana Hasanudin. 

Dijelaskan Guillot, batu sejenis Watu Gilang sebetulnya sudah digunakan juga dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta dengan sebutan Sela Gilang. Dalam bahasa Jawa, sela adalah padanan kromo dari watu.

Sela Gilang di Surakarta, dianggap sebagai takhta kuno Kerajaan Majapahit. Saat diadakan pemindahan ibu kota Majapahit dari Kartasura ke Surakarta tahun 1746, benda satu-satunya yang dibawa adalah Sela Gilang dan Bangsal Pangrawit yang merupakan penutupnya.

Di situs tertua Keraton Mataram, yakni Keraton Panembahan Senopati, Sela Gilang ditempatkan di sebelah pohon beringin. Sebenarnya, di sejumlah daerah lainnya di Indonesia, dalam sistem kepercayaan ini, Watu Gilang memang selalu disertai dengan dua unsur lainnya, yakni pusat kota dan pohon beringin.

Di atas Watu Gilang ini, Maulana Hasanudin menggantikan Betara Guru Jampang dan juga bertapa. Batu ini juga dijadikan sebagai singgasananya. Fakta-fakta itu seolah menyebutkan, batu tersebut telah memberikan kekuasaan untuk memerintah. Sementara, istana hanyalah bersifat fungsional saja.

Seiring waktu, peran Watu Gilang ini tak lagi dominan. Tercatat di masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1596, raja bersama dengan para penasihatnya mengambil keputusan di Darpragi, yang lokasinya berada tak jauh dari Watu Gilang. Bahkan, ciri keagamaan dan pentingnya Watu Gilang sedikit demi sedikit pudar digantikan sikap politik pragmatis. Watu Gilang pun kemudian hanya menjadi suatu lambang dan kenangan masa lalu…

Author

  • Darussalam J. S

    Darusssalam Jagad Syahdana mengawali karir jurnalistik pada 2003 di Fajar Banten--sekarang Kabar Banten--koran lokal milik Grup Pikiran Rakyat. Setahun setelahnya bergabung menjadi video jurnalis di Global TV hingga 2013. Kemudian selama 2014-2015 bekerja sebagai produser di Info TV (Topaz TV). Darussalam JS, pernah menerbitkan buku jurnalistik, "Korupsi Kebebasan; Kebebasan Terkorupsi".

Terpopuler

Share post:

Berita Lainnya
Related

Mengungkap Sebab Kantor Dagang VOC Pertama di Indonesia Didirikan di Banten

Berita Banten - Kapal-kapal dagang Belanda untuk pertama kalinya...

Hujan Mulai Basahi Bumi Banten, Pemprov Bersiap Percepat Musim Tanam Padi

Berita Banten - Pemerintah Provinsi atau Pemprov Banten bersiap...

Menyibak Masa 1696 di Jakarta; Warganya Telah Melek Aksara dan Banten Jadi Penyuplai Buku-buku Agama

Berita Banten - Ahkmat bin Hasba, seorang ulama menyampaikan...

Banteng Banten dalam Kisah Perempuan yang Ambisius Duduki Tahta Kerajaan

Berita Banten - Kronik sejarah Banten tak melulu mengisahkan...